Orang papua?
Yang memakai koteka kan?
Yang memakai koteka kan?
Yup. Pertama kali mendapat informasi bila suami ditugaskan di Jayapura, yang ada dibenak saya adalah sebuah kota yang dipenuhi hutan, tanpa listrik, rumah gubuk serta penduduknya yang berkulit hitam dan berpakaian koteka dengan garis-garis putih di wajah. Pandangan itu pula yang ada di pikiran kedua orang tua saya sehingga mereka agak khawatir bila saya ikut ke Jayapura. Namun saya menenangkan kedua orang tua dengan bilang bahwa papua khususnya Jayapura sekarang sudah berbeda dari beberapa tahun sebelumnya, walaupun sebenarnya ada kekhawatiran dalam diri sendiri hehe. Bismillah, akhirnya berangkat juga ke Jayapura.
Menginjakkan kaki pertama kali di tanah Papua begitu berkesan bagi saya. Nuansa berbeda sudah terasa saat menaiki pesawat dari bandara Sultan Hasanuddin, Makassar menuju bandara Sentani, Jayapura. Banyak penumpang yang berkulit hitam. Apalagi setelah landing di bandara Sentani. Dominansi orang berkulit hitam lebih banyak lagi. Meskipun para pendatang di kota ini jumlahnya lebih banyak dari penduduk asli, namun tetap saja saya melihat lebih banyak orang berkulit hitam daripada sebelum saya tiba disini. Dari luar memang terlihat orang berkulit hitam lebih keras daripada orang berkulit sawo matang atau putih, tapi bukan berarti mereka lebih kasar. Tiga tahun berada di Jayapura membuat saya lebih mengenal karakter berbeda dari orang papua.
Berikut beberapa hal yang saya catat dari budaya orang Jayapura, Papua versi pengalaman saya selama di kota ini.
1. Bahasa yang berbeda
Perbedaan bahasa merupakan hal yang memang sudah bisa dipastikan. Di Jawa saja ada beberapa bahasa, apalagi berbeda pulau. Saya membutuhkan beberapa waktu untuk beradaptasi dengan bahasa disini. Sempat loading lama saat pertama kali mencerna bahasa papua, namun lama kelamaan terbiasa sendiri. Meskipun tidak bisa lancar berbahasa papua, minimal mengerti saat berinteraksi satu sama lain.
2. Cara bicara
Awalnya saya pikir hanya saya saja yang merasa cara bicara orang papua lebih cepat dibandingkan orang jawa. Ternyata tidak. Orang papua memang berbicara lebih cepat daripada orang jawa pada umumnya. Hal ini sempat membuat saya bingung saat mendengar penuturan orang papua, karena saya belum mengenal bahasanya ditambah lagi dengan cara bicaranya yang cepat. Alhasil, biasanya saya bertanya kembali agar orang yang saja ajak bicara mengulang pernyataannya atau sekadar menjawab dengan kata "ya" atau "tidak."
3. Cara mengutarakan pendapat
Bila orang jawa notabene lebih memilih rasa sungkan untuk mengomentari sesuatu secara benar-benar terbuka, untuk mengungkapkan secara blak-blakan akan apa yang ingin diutarakan, maka orang papua begitu blak-blakan atau ceplas-ceplos. Berikut contoh kasusnya:
Bila anda tanpa sadar parkir di tempat yang menghalangi jalan pemarkir lain, maka:
Orang jawa: mas/mbak, motornya ngalangin jalan nih, pindah dong!
Orang papua: kaka, ko tra lihat kah? Ko pu motor kasi tutup jalan jadi, pindah boleh!
Perbedaan intonasi serta cara penuturan terkadang menyebabkan stigma negatif akan asumsi seseorang. Awalnya saya merasa berbicara ceplas ceplos seperti itu terdengar agak kasar, namun ternyata tidak. Hal ini hanyalah suatu pola karakter berbeda yang ada dalam masyarakat.
4. Pakaian yang layak
Masih banyak yang menduga bahwa masyarakat papua seluruhnya berpakaian koteka. Hal ini sangatlah keliru. Karena masyarakat jayapura berpenampilan layaknya masyarakat di kota-kota besar lainnya. Memang ada penduduk asli yang masih menggunakan koteka, namun mereka bertempat tinggal di daerah pegunungan. Orang asli Papua Jayapura sendiri terbagi menjadi dua yaitu orang gunung yang bertempat tinggal di gunung dan orang pantai yang bertempat tinggal di kota.
5. Kebiasaan sapa saat bertemu
Saya begitu terkesan dengan sapaan saat bertemu ini. Saat saya belum mengenal siapapun disini dan ada kekhawatiran saat keluar rumah sendirian, tiba-tiba dicairkan dengan sapaan tetangga asli orang papua dengan ucapan sederhana: "selamat pagi" saat berpapasan dengan saya. Karena jujur saja sebelum disini saya tidak terbiasa menyapa tetangga satu persatu saat bertemu, sapaan sederhana setiap bertemu ini seakan memberi sambutan bagi orang baru seperti saya. Dari kebiasaan ini pula saya mulai bersosialisasi dengan mereka.
6. Tidak memusingkan tawar menawar
Bisa dibilang orang papua dalam hal tawar menawar sangat simple. Rata-rata maksimal penawaran hanya dua kali. Mereka lebih suka menawarkan barang dengan harga mendekati harga pas, sehingga walaupun bisa ditawar hanya akan berkurang sedikit saja. "Kalau cocok silahkan beli, kalau tidak ya sudah tidak perlu beli," begitulah anggapan kebanyakan penjual di pasar-pasar Jayapura.
7. Toleransi agama
Hal ini yang paling saya acungi jempol dalam kebudayaan sosial masyarakat Jayapura, Papua. Di tengah isu perpecahan agama yang masih sering terjadi, budaya ini seakan mengabaikan segelintir orang yang ingin menghancurkan persatuan bangsa lewat perpecahan agama. Saat perayaan hari raya Islam tiba, para tetangga baik itu islam ataupun non islam akan bertamu dan mengucapkan selamat. Begitu pula sebaliknya. Kebiasaan ini begitu berhasil sehingga isu SARA dapat terkubur dalam-dalam dan tetap mengedepankan persatuan bangsa.
8. Kebiasaan buruk
Kebiasaan buruk yang masih sering dilakukan beberapa orang papua disini adalah minum alkohol. Hal ini terkadang menyebabkan keresahan masyarakat karena banyak dari oknum yang sedang mabuk ini melakukan tindakan amoral, seperti contoh pemerkosaan, pemalakan, penodongan dan sebagainya. Semoga kedepannya pemerintah akan menemukan solusi akan masalah ini agar Jayapura lebih maju lagi dari segi SDM nya.
Inilah beberapa catatan saya tentang karakter budaya orang papua khususnya Jayapura sesuai dengan pengalaman saya beberapa tahun. Menarik untuk mengenal berbagai kebudayaan masyarakat yang berbeda, karena akan memperkaya pengetahuan diri akan masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Bhinneka tunggal ika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar